Paksa 77 Siswa Jilat Feses Pakai Sendok, 2 Pelaku Dikeluarkan dari Sekolah, Ini Komentar KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut berkomentar terkait kasus bully yang memaksa siswa memakan kotoran manusia. Kasus tersebut terjadi pada 77 siswa kelas VII dari Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). KPAI menyampaikan keprihatinan dan mengutuk para pelaku.
Perkembangan terbaru yang diperoleh KPAI, dikabarkan pelaku adalah siswa senior atau kakak kelas dari para siswa tersebut. Retno berujar ada kelalaian dari pihak sekolah dalam upaya pengawasan terhadap peserta didik. Hal itu menyebabkan terjadinya tindak penganiayaan.
Menurutnya, kesalahan anak tidak berdiri sendiri. Kejadian ini juga disebabkan ada kelemahan pengawasan di sekolah yang berarti juga bentuk kelalaian pihak sekolah. "Kalaupun kakak kelas terduga pelakunya, namun tetap saja ada kesalahan pihak sekolah."
"Kesalahan anak tidak berdiri sendiri, di antaranya ada kelemahan pengawasan di sekolah tersebut." "Itu artinya bentuk kelalaian pihak sekolah juga," ujarnya. KPAI akan segera berkoordinasi dengan pihak sekolah dan Dinas Pendidikan setempat untuk memdalami kasus tersebut.
"Untuk mendalami yang terjadi sebenarnya, KPAI akan pengawasan langsung." "Kami berharap kita tidak mengorbankan anak lainnya karena ketidakmampuan pihak sekolah melakukan perlindungan pada anak anak yg menjadi korban," ujar Retno dalam keterangannya. Pihak sekolah menurut pasal 54 UU Perlindungan anak wajib melindungi peserta didik.
Termasuk dari berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan maupun peserta didik. "Menghukum dengan memakan feses dapat dikategorikan sebagai kekerasan," ujar Retno. Pihak sekolah pun mengklarifikasi kabar yang terlanjur beredar di media massa.
Pimpinan Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Romo Deodatus Du'u membenarkan adanya 'hukuman' seperti itu. Deodatus pun mengatakan insiden itu terjadi pada Rabu (19/2/2020) sekitar pukul 14.30 WITA. Namun, ia membantah atas berita yang beredar jika para siswa dipaksa 'makan'.
"Terminologi 'makan' yang dipakai oleh beberapa media saat memberitakan peristiwa ini agaknya kurang tepat." "Sebab yang sebenarnya terjadi adalah seorang kakak kelas menyentuhkan sendok yang ada feses pada bibir atau lidah siswa kelas VII," kata Deodatus dalam keterangan yang diterima , Selasa (25/2/2020). Lantas, Deodatus pun menceritakan bagaimana kronologi dari peristiwa tersebut.
Kejadian itu, kata dia, dilakukan dua siswa kelas XII yang bertugas menjaga kebersihan area asrama siswa kelas VII. Deodatus menceritakan, insiden itu bermula ketika salah seorang siswa kelas VII membuang kotorannya sendiri. Siswa itu membuangnya di kantong plastik yang disembunyikan dalam lemari kosong di kamar tidur.
Setelah makan siang, dua kakak kelas yang ditugaskan menjaga kebersihan kamar tidur kelas VII menemukan plastik berisi kotoran manusia itu. Dua kakak kelas itu mengumpulkan siswa kelas VII. Mereka geram dan menanyakan asal muasal kotoran tersebut.
Namun, tak ada siswa kelas VII yang mau mengaku. Padahal dua kakak kelas itu berkali kali meminta siswa kelas VII untuk memberi tahu. Para siswa kelas VII pun kekeuh tak ada yang mau mengaku.
Alhasil dua kaka kelas tersebut dirundung amarah karena tidak ada siswa yang jujur. Lantas seorang kakak kelas mengambil kotoran dengan sendok makan dan menyentuhkannya ke bibir dan lidah siswa kelas VII. Perlakuan yang didapat setiap siswa kelas VII berbeda.
Setelah itu, dua siswa kelas XII itu meminta para juniornya merahasiakan insiden tersebut. Terlebih dari pembina dan para orangtuanya. Namun tak lama, kejadian itu terbongkar ketika salah satu siswa kelas VII mendatangi para pembina. Siswa itu datang bersama orangtuanya, pada Jumat, 21 Februari 2020.
Para pembina pun menyikapi laporan tersebut dengan memanggil seluruh siswa kelas VII. Termasuk dua kakak kelas sebagai 'pelaku' untuk diminta keterangan lebih lanjut. Kemudian, pada Selasa (25/2/2020), sekitar pukul 09.00 WITA hingga 11.15 WITA, para pembina dan orangtua siswa mengadakan pertemuan.
Pertemuan itu dihadiri oleh seluruh siswa kelas VII dan dua kakak kelas tersebut. Kala itu permasalahan tersebut telah dibicarakan secara terbuka dan jujur dalam pertemuan. Deodatus mengatakan, pihak Seminari telah meminta maaf atas kejadian yang dialami 77 siswa di hadapan orangtuanya.
Dua kakak kelas itu pun dikeluarkan dari Seminari Bunda Segala Bangsa. Seminari juga mendampingi para siswa kelas VII untuk pemulihan mental dan menghindari trauma.