Soal PSBB, Pengamat Kebijakan Publik Minta Pusat Jangan Lempar Handuk: Pemda Bisa Babak Belur

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah angkat bicara terkait pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sebagian wilayah. Trubus Rahardiansyah menilai, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) bisa bekerja sama dengan baik terkait keputusan PSBB di suatu wilayah, khususnya masalah anggaran. "Memang ini harusnya tidak semua diserahkan pada daerah. Artinya dengan PSBB sebenarnya daerah sudah mulai berat."

"Berat artinya apa, anggaran itu sudah kesedot banyak dalam rangka untuk ikut membantu memutus penyebaran Covid 19 itu sendiri," kata Trubus. Sehingga, Pemerintah Pusat harus lebih meningkatkan perannya agar tak terkesan lempar tanggung jawab. "Jadi dengan demikian yang perlu ditegaskan di sini adalah bagaimana peran pemerintah pusat agar seolah olah pemerintah pusat tidak lempar handuk, seolah urusan menjadi urusan pemerintah daerah," ucap dia.

Pasalnya, anggaran yang dimiliki Pemda juga sangat terbatas. "Iya kalau melihat seperti itu ya indikasinya jadi ke sana. Karena kalau seperti itu kan pemerintah daerah mau tidak mau harus membiayai dengan anggaran yang memang terbatas itu," sambungnya. Hal itu bisa semakin parah mengingat di beberapa daerah anggaran yang dimiliki tak cukup besar.

"Ini harusnya didiskusikan kembali agar pemerintah daerah karena semua pemerintah daerah dalam hal ini, tidak semua daerah memiliki anggaran yang sama." "Lah kalau daerahnya itu anggarannya kecil, PAD (Pendapatan Asli Daerah) kecil ya babak belur," ungkapnya. Lalu, Trubus menyinggung Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi yang turut menjadi narasumber di acara itu mengatakan bahwa anggarannya terbatas.

"Sehingga seperti misalnya Bekasi tadi, anggarannya habis untuk membiayai birokrasi," pungkasnya. Trubus menilai PSBB di Jakarta kurang efektif lantaran sosialisasi yang dilakukan belum maksimal sampai ke semua lapisan masyarakat. "Menurut saya akan efektif kalau misalnya pembatasan itu sendiri memang sampai ke tataran masyarakat itu sendiri."

"Karena selama ini yang kita lihat bahwa sosialisasi yang relatif kurang, pada akhirnya masyarakat enggak memahami," ucap Trubus. Sehingga, itulah alasan mengapa di beberapa titik di Jakarta keadaan masih seperti biasanya sebelum PSBB diberlakukan. "Maka yang terjadi tidak saja yang berlaku di Jakarta tadi pagi juga, beberapa hari yang lalu sama, kondisinya enggak jauh berbeda. Maka ini yang akan terjadi adalah bagaimana rencana kita untuk memutus mata rantai pandemi itu sendiri jadi belum optimal," kata Trubus sedikit tertawa.

Trubus menyebutkan, secara keseluruhan memang sudah mulai ada perubahan terkait pemberlakukan PSBB ini. Namun, jelasnya, masih ada saja masyarakat yang belum patuh pada PSBB. "Ya kalau secara keseluruhan sudah mulai ada perubahan. Tetapi di sebagian kecil banyak belum berubah, masih sama saja," ujarnya.

Bahkan Trubus menyebut masih ada masyarakat yang nekat berkumpul di beberapa titik. "Artinya, masyarakat masih berkumpul kumpul, masih mengadakan kegiatan, termasuk di transportasi kita temui di beberapa daerah atau tempat tempat di Jakarta, mereka masih ngumpul ngumpul juga," lanjut Trubus. Menurutnya, diperlukan ada penegakan hukum yang lebih tegas agar PSBB berjalan dengan semestinya hingga bisa memutus mata rantai penyebaran Covid 19.

"Jadi artinya ini semua perlu penegakan hukum yang lebih tegas lagi, sehingga mungkin karena pertimbangannya baru pertama kali, seolah tiga hari ini sosialisasi atau empat hari, kemudian rencananya nanti akan ada penegakan," katanya. Meski demikian diperlukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum memberikan penegakan hukum lebih tegas. Pasalnya PSBB ini menyangkut seluruh lapisan masyarakat.

"Tetapi perlu diingat, penegakan hukum sendiri harus melibatkan aspek aspek yang lebih luas," pungkasnya.